Untukmu Saudaraku, Jabatan itu Amanah

Oleh : Muhamad Maulana Al-Ayubi

Mungkin sebagian besar dari kita sudah mengetahui arti dari jabatan dan amanah itu sendiri. Dimana jabatan adalah kedudukan yang menunjukan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang, sedangkan amanah secara bahasa dapat diartikan sesuatu yang dapat dipercayakan atau kepercayaan atau dapat berarti juga titipan (al-wadi’ah).

Maka dari itu, sebenarnya terkait pengertian dan maknanya ini dapat lebih luas lagi. Dari sini kita dapat melihat, bahwasanya jabatan (amanah) yang diberikan tidak sesederhana yang kita pikirkan untuk dijalani, terlebih Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitahu dan mengingatkan kepada kita akan pertanggung jawabannya di akhirat nanti, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Q.S Al-Ahzab: 72)

Teringat saya akan sebuah kisah, dimana suatu waktu Abu Dzar al-Ghifari bertanya kepada Nabi. “Ya Rasulullah, mengapa kau tak memberi jabatan apa-apa kepadaku?”. Sambil menepuk bahu sahabatnya yang zuhud itu, Nabi menjawab, “Hai Abu Dzar, kau seorang yang lemah, sedangkan jabatan itu adalah amanah”. Sebagaimana dalam sabdanya beliau menjelaskan, jabatan kelak pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan, kecuali bagi orang yang dapat menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya (HR. Muslim)

Ironinya sebagaimana yang kita lihat pada realitasnya saat ini, tidak sedikit orang ataupun kelompok yang mengingingkan amanah bahkan memperebutkannya dengan segala cara yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkannya. Seolah jabatan menjadi satu-satunya cara untuk beramal dan mendapatkan keuntungan ataupun kesuksesan dalam beramal didunia, yang mana sejatinya dengan ada atau tidaknya amanah jabatan itu kita sebagaimana umat Islam harus selalu optimis dan tetap berada dibarisan terdepan yang tidak harus terkait dengan jabatan tertentu, karena kita adalah umat terbaik dan cukuplah firman Allah menjadi pegangan dan sebagai motivasi bagi kita dalam beramal:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kepada yang munkar, dan beriman kepada Allah..” (Q.S Ali-Imron: 110)

Akan tetapi dalam hal ini, Islampun tidak melarang untuk menempati atau menduduki jabatan. Dengan berbekal petunjuk Al-Qur’an, Hadis, dan akal (sebagai karunia yang diberikan oleh Allah), manusia khususnya umat Islam dapat mengambil ijtihad dengan menimbang maslahat dan mafsadat kedepannya, dan inilah yang dapat disebut juga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

Terlebih amanah jabatan, khususnya dalam kepemimpinan itu dapat dibagi menjadi dua macam:

1. Kepemimpinan Mauhuubah

Dimana dalam hal ini, kepemimpinan yang prosesnya bersifat pemberian atau given, pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana kisah Thalut dalam surat al-Baqarah: 246-247

“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?". Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa". Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. “ (Q.S Al-Baqarah: 246-247)

Oleh karena itu hal yang ingin saya garis bawahi disini adalah bahwasannya proses penokohan mauhuubah tidak selalu harus dalam satu garis keturunan. Walaupun memang ada mauhuubah yang berasal dari satu garis keturunan sebagaimana Nabi Sulaiman AS kepada Nabi Daud AS, namun ada juga yang bukan sepertin halnya Thalut. Suatu yang utama dalam hal ini, bahwasannya kemampuan kepemimpinan mereka merupakan mauhuubah atau suatu yang diberikan sebagai karunia dari Allah sebagaimana dianugrahinya ilmu yang luas dan tubuh perkasanya pada diri Thalut.

2. Kepemimpinan Muktasabah

Kepemimpinan jenis ini merupakan kepemimpinan yang dibentuk dan diusahakan baik individu ataupun kelompok, dikarenakan kepemimpinan ini juga dapat ditumbuhkan melalui jalur pelatihan dan pembinaan, sehingga menghasilkan bekal pengalaman bagi pelakunya itu sendiri. Pada umumnya tipe pemimpin mauhuubah sejak awal sudah memiliki kharismatis aura kepemimpinannya sendiri, sedangkan muktasabah biasanya wibawanya baru akan muncul seiring bertambahnya pengalaman dan kebijaksanaannya. Ia baru akan diakui integritas kepemimpinannya karena pengalamannya. Akan tetapi, alangkah baiknya bila kedua tipe diatas bertemu dalam diri satu orang, walaupun sebenarnya bisa saja kedua tipe ini menyatu pada diri seseorang tersebut.

Ibroh yang dapat diambil dalam hal ini adalah berbuat dan bercita-citalah secara proporsional dengan tetap mengutamakan nilai-nilai ketuhanan sebagai acuan, sejatinya setiap apa yang kita lakukan atas kehendakan dan fitrah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada setiap mahluk ciptaannya (manusia). Sesungguhnya dari setiap kejadian itu, terdapat sebuah pelajaran bagi orang-orang yang berpikir (Ulul albab), sungguh Dia (Allah)-lah Yang Maha Sempurna lagi Bijaksana.

Komentar